Sayur Sop Untuk Cici

Zaza mondar-mandir dari ruang tengah ke dapur, lalu ke kamar, dan akhirnya duduk di ruang tengah bersama Mama. Mama yang sedang bekerja di depan laptop heran melihat tingkah Zaza.

“Za kenapa, Nak?” tanya Mama pada Za yang duduk lemas di sampingnya.

Tiba-tiba Zaza menangis kencang. Mama jadi bingung melihatnya.

“Loh, kok nangis? Ada apa, Sayang?” tanya Mama.

“Hauuuusssss!” rengek Zaza.

Mama tersenyum. Oh, ternyata dari tadi Zaza mondar-mandir ke dapur karena haus. Memang cuaca Surabaya sangat panas beberapa hari ini. Wajar kalau Zaza merasa haus.

“Sabar, ya Sayang. Namanya juga puasa, pasti ada hausnya.” Mama memeluk Zaza.

“Za mau puasa zuhur aja, ya, Ma,” rengek Zaza lagi.

“Yakin? Sudah empat belas hari lih, Zaza puasa penuh. Masa sekarang mau puasa setengah hari aja?” tanya Mama.

Zaza diam. Alhamdulillah, Zaza yang duduk di kelas dua SD sudah puasa penuh sekarang. Tapi, hari ini Zaza haus sekali. Ia tadi bermain dengan Chika, temannya. Chika ternyata tidak puasa, dan minum es teh di depan Zaza.

“Tadi Chika nggak puasa, enak sekali minum es teh yang dingin,” kata Zaza.

“Iya, memang enak. Tapi, lebih terasa nikmat, kan, kalau kita minum nanti waktu bedug magrib. Rasanya lebih ah, mantap!” kata Mama.

Za tertawa melihat gaya Mama ketika mengatakan mantap sambil mengacungkan jempol.

“Kenapa kita harus puasa, sih, Ma? Kan haus, lapar, lemes,” tanya Zaza.

“Berapa hari sih, kita puasa? Dan berapa jam dalam sehari?” Mama ganti bertanya.

“Puasanya lama, sebulan penuh! Udah gitu, dari subuh sampai magrib,” jawab Zaza dengan mulut cemberut.

“Cuma tiga puluh hari, kan? Cuma sekitar dua belas jam aja. Zaza tahu, kenapa Allah nyuruh kita puasa?”

Zaza menggeleng. Mama tersenyum.

“Allah nyuruh kita puasa, biar kita bisa merasakan apa yang dirasakan saudara-saudara kita yang kurang mampu.”

Zaza terus memperhatikan Mama yang bicara. Ia senang sekali mendengar Mama bercerita.

“Kita cuma puasa tiga puluh hari, sedangkan mungkin di luar sana banyak teman-teman seusia Zaza tidak bisa makan berhari-hari. Zaza ingat Cici?” tanya Mama.

Zaza mengangguk. Cici adalah anak pemulung yang sering ditemui Zaza dan Mama di kompleks mereka. Ia ikut ibunya memulung sampah, mengumpulkan plastik bekas untuk dijual ke pengepul. Cici pernah bilang, ia sudah tidak makam seharian. Hari itu, Mama memberi Cici dan ibunya nasi lengkap dengan lauk yang cuma tahu tempe. Tapi, Cici terlihat senang sekali.

“Nah, sekarang Zaza tahu bagaimana rasanya Cici yang menahan lapar seharian, kan? Apa yang Zaza rasakan sekarang?”

“Nggak enak jadi Cici,” jawab Zaza asal. Mama tertawa dibuatnya.

“Dengan merasakan apa yang Cici rasakan, kita jadi lebih ingin berbuat baik pada orang-orang yang senasib dengan Cici, iya nggak?”

Iya, sih. Zaza menjawab dalam hati.

“Makanya, setiap akhir Ramadhan, kita diwajibkan membayar zakat. Zakat ini nanti dibagikan pada orang-orang yang membutuhkan seperti Cici dan ibunya.” Mama melanjutkan.

Zaza mengerti. Ia berpikir, setelah puasa nanti magrib ia bisa makan enak lagi. Mama selalu masak makanan istimewa kesukaan Zaza untuk berbuka. Cici bagaimana? Apa yang dia makan setelah puasa?

“Hari ini Mama masak apa?” tanya Zaza.

“Ada sayur sop sama ayam goreng krispi, kan tadi Zaza bilang mau makan itu untuk buka puasa,” jawab Mama.

“Nanti, kita ke rumah Cici ya, Ma. Antar nasi sama sayur sop ke sana buat buka puasa Cici,” kata Zaza.

“Masyaallah, anak Mama memang hebat. Senang berbagi dan bisa berempati dengan yang lain,” kata Mama memeluk Zaza.

“Sekarang, masih mau puasa setengah hari?” goda Mama.

“Nggak, Zaza mau main air aja. Boleh?”

“Boleh, setelah itu, kita salat zuhur, ya. Jangan lama-lama main airnya, oke?”

Zaza mengangguk. Ia berlari ke kamar mandi dan main air di sana. Cici, tunggu, ya. Nanti Zaza datang bawa makanan enak untuk Cici.