Kebaikan Seribu Bulan

Sambil membantu Mama menyiapkan menu buka puasa, Nana mendengar ceramah di televisi.
“Ma, tadi di sekolah Pak Angga ngomongin soal lailatul qadar. Katanya, malam lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Maksudnya gimana, sih?“ tanya Nana. Mama tersenyum.
“Pak Angga bilang apa lagi?” Mama balik bertanya.
“Katanya, siapa saja yang mendapatkan berkah malam lailatul qadar adalah termasuk orang yang beruntung. Memangnya malam lailatul qadar itu apa?“
“Udah hampir azan, kita buka puasa dulu, ya? Setelah itu, baru deh kita ngobrol lagi soal malam lailatul qadar. Panggil Papa, gih!“ perintah Mama. Nana mengangguk dan pergi memanggil Papa di ruang tengah.
“Wah…, buka puasanya istimewa sekali,“ kata Papa.
“Iya dong, ini kan menu buka puasa kesukaan Papa. Es buah, ditambah pisang goreng. Nah, kita siap-siap buka puasa ya.“ Mama menuang es buah ke dalam gelas.
Tak lama, kumandang azan pun terdengar. Ucapan hamdalah terdengar memenuhi ruang makan. Nana, Papa, dan Mama segera menunaikan buka puasa.
“Setelah ini, kita salat maghrib berjamaah.“ Papa menatap Nana yang sedang menikmati menu bukanya dengan lahap.
“Pelan-pelan dong, Sayang,” tegur Mama. Nana tersenyum malu.
“Papa wudu duluan, ya,” kata Papa yang segera ke kamar mandi untuk berwudu, diikuti Nana.
Selesai salat, Papa menjelaskan tentang malam lailatul qadar pada Nana yang sudah tidak sabar. Mama ikut mendengarkan.
“Malam lailatul qadar adalah malam terbaik sepanjang bulan Ramadan. Di malam lailatul qadar itu, bumi ini penuh sesak.“ Papa memberi jeda pada ceritanya, menunggu reaksi Nana.
“Penuh sesak kenapa?“ tanya Nana.
“Karena para malaikat turun ke bumi untuk membagikan keberkahan. Malam lailatul qadar ini terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Lailatul qadar adalah malam penuh kemuliaan. Apapun doa kita di malam itu, insyaallah akan dikabulkan. Maka dari itu, banyak orang yang melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan,“ kata Papa meneruskaan penjelasannya.
“I’tikaf itu apa?“
“I’tikaf itu tinggal menetap di masjid untuk beribadah. Berzikir, mengaji, berdoa, semua dilakukan untuk mendapatkan keberkahan di malam lailatul qadar.“
“Ngapain kok di masjid? Kan bisa di rumah aja, enak bisa tidur.“ Nana masih bertanya. Papa tersenyum sambil mengelus kepala Nana.
“Kalau di rumah, namanya tidur beneran,“ kata Papa. Nana tertawa.
“Nana tahu, waktu-waktu turunnya malam lailatul qadar?“ tanya Papa. Nana menggeleng.
“Malam lailatul qadar yang penuh berkah itu turun pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Di malam-malam ganjil itu, orang dianjurkan untuk memperbanyak ibadah, berdoa, dan berzikir.“
“Jadi kita boleh malas-malasan dong, di malam-malam yang nggak ganjil?”
Papa tertawa, “Kalau Nana mau dapat hadiah dari Papa, apa Nana akan rajin kalau ada Papa saja?“
“Nggak, dong! Nanti hadiahnya dikurangi sama Papa,“ sahut Nana.
“Nah, begitu juga malam lailatul qadar. Kita tidak boleh hanya rajin di malam ganjil saja, tapi kita harus semangat dan rajin beribadah di sepanjang bulan Ramadhan. Hadiahnya akan diberikan di sepuluh malam terakhir. Khususnya di malam ganjil. Begitu, Sayang.” Nana mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nanti Papa mau i.. i…, apa, Pa namanya? Yang tidur di masjid itu?“
“I’tikaf,” jawab Papa.
“Iya, itu. Papa mau i’tikaf juga?”
“Insyaallah, iya.”
“Nana ikut, ya?”
“Nana kan masih kecil, jadi di rumah saja ya sama Mama,“ kata Papa. Nana mengangguk. Dalam hati berpikir, kalau di masjid pasti Nana tidak bisa tidur.
“Mulai sekarang, Nana harus lebih rajin ngaji, sholat tarawih, dan berzikir ya? Biar dapat keberkahan malam lailatul qadar,“ kata Papa. Sekali lagi Nana mengangguk.
“Nana mau rajin ngaji deh, biar disayang sama Allah. Biar dapat hadiah malam lailatul qadar.“ Papa tersenyum melihat tingkah Nana.
“Nah, sekarang waktunya makan!“ seru Mama.
Papa, Mama, dan Nana segera ke meja makan untuk menikmati masakan Mama. Nana membayangkan ayam goreng yamg gurih buatan Mama. Perutnya tiba-tiba berbunyi. Nana tersenyum malu.