Pagi itu, Rara dan Mama sedang berjalan ke pasar. Rara ingin sekali makan bubur sum-sum dan klanting, makanan kesukaannya.
“Ma, lihat! Ada Eyang Bidan!” kata Rara sambil menunjuk ke arah seorang perempuan. Mama mengikuti arah telunjuk Rara.
“Oh, iya. Ayo, kita sapa!” ajak Mama. Rara mengangguk penuh semangat.
Rara segera berlari mendekati orang yang dipanggil Eyang Bidan itu. “Eyang Bidan!”
“Eh, ada Rara! Sama siapa, Cantik?” Rara tersenyum malu mendengar pujian Eyang Bidan.
“Sama Mama, itu,” kata Rara seraya menunjuk ke arah Mama yang berjalan mendekat. Mama tersenyum ke arah Eyang Bidan.
“Mau belanja apa, nih?” tanya Eyang Bidan.
“Ini, Rara pengen bubur sum-sum, Eyang,” jawab Mama.
“Wah, enaknya! Ya sudah, Eyang duluan, ya? Mau ada pasien melahirkan, tadi katanya sudah mau berangkat ke rumah.” Eyang Bidan pamit. Rara mencium tangan Eyang Bidan.
—ooo—
“Ra, ikut Mama, nggak?” tanya Mama sambil memakai kerudung di kamar. Rara yang sedang membaca di ruang keluarga mendekati Mama.
“Mau ke mana, Ma?”
“Ke rumah Eyang Bidan, Mama mau suntik,” jawab Mama. Mata Rara berbinar. Dia suka ikut Mama ke rumah Eyang Bidan. Selain sering diberi kue, di rumah Eyang Bidan sering ada adik bayi.
“Ikut, Ma! Ikut!” seru Rara bersemangat.
Berdua Mama dan Rara berjalan ke rumah Eyang Bidan yang memang tak jauh dari rumah mereka.
“Ma, kata Mama, dulu Rara lahirnya di rumah Eyang Bidan, ya?”
“Iya, kenapa?”
“Nggak apa-apa, hehe. Memangnya, kerjaannya Eyang Bidan itu apa aja sih, Ma?” tanya Rara. Mama tersenyum.
“Eyang Bidan itu nama pekerjaannya jadi bidan. Bidan bertugas membantu para mama melahirkan, biar adik bayi dalam perut mama lahir dengan selamat. Selain itu, kalau adik bayi sakit, Eyang Bidan dan teman-temannya siap menolong adik bayi.”
“Oh, gitu ya?”
“Rara tahu? Waktu Rara mau lahir, sudah tengah malam. Eyang Bidan sudah tidur, tapi demi membantu Mama melahirkan kamu, Eyang Bidan rela bangun dan membantu Mama. Eyang Bidan dengan sabar membantu dan menemani Mama.”
“Kalau Rara yang dibangunin tengah malam, pasti marah-marah ya, Ma?” Mama tertawa mendengar kata-kata Rara.
“Eh, kita sudah sampai. Wah, ramai sekali ya, tempat praktik Eyang Bidan!”
“Mana Eyang Bidan, Ma?” tanya Rara ketika tidak mendapati orang yang dicarinya.
“Mungkin lagi di dalam, ada pasien,” kata Mama. Rara mengangguk mengerti.
Tak lama, terdengar suara bayi menangis dari dalam ruang praktik. Rara terkejut mendengarnya. “Kenapa adik bayinya nangis, Ma? Diapain ya, sama Eyang Bidan?”
Mama tertawa. “Mungkin adik bayi sedang disuntik imunisasi sama Eyang Bidan. Salah satu tugas bidan adalah memberikan imunisasi untuk adik bayi. Imunisasi itu tujuannya untuk mencegah adik bayi dari penyakit yang berbahaya.”
“Oh, seperti Rara yang disuntik di sekolah kemarin ya, Ma? Rara yang sudah besar aja nangis pas disuntik, apalagi adik bayi ya, Ma?”
“Rara ingat nggak, apa saja tugas bidan yang sudah Mama jelaskan tadi?”
“Ingat, dong! Tugas bidan itu membantu mama yang mau melahirkan adik bayi, biar mama dan adik bayi selamat. Terus, bidan juga menyuntik adik bayi dengan imu…imu…”
“Imunisasi,” kata Mama.
“Iya itu, imunisasi!” Rara tersenyum malu.
“Eh, itu Eyang Bidan sudah selesai! Sekarang giliran Mama, nih!” Mama bangkit mendekati ruangan praktik Eyang Bidan.
“Wah, ada Rara,” Eyang Bidan duduk di kursi. Rara mencium tangan Eyang Bidan.
Mbak Nida, petugas yang membantu Eyang Bidan menyerahkan kartu. Eyang Bidan memeriksa kartu itu, lalu menyuruh Mama masuk ruangan.
“Rara tunggu di sini dulu, ya? Mama mau disuntik dulu,” kata Eyang Bidan sambil menyentil hidung mungil Rara.
Rara memandang ke sekelilingnya. Ruangan praktik Eyang Bidan ramai. Banyak tempelan di dinding. Ada gambar adik bayi yang ada dalam perut. Rara membayangkan seperti itulah dia dulu dalam perut Mama. Eyang Bidan yang membantu Mama melahirkan Rara, pasti Eyang Bidan hebat sekali.
“Kok ngelamun?” Suara Eyang Bidan mengagetkan Rara. Mama berjalan di belakang Eyang Bidan.
“Nanti, kembali lagi di tanggal yang sama bulan depan, ya?” kata Eyang BIdan sambil menulis di kartu Mama. Mama mengangguk.
“Bu, Bu Nadine sepertinya sudah waktunya melahirkan,” kata Mbak Nida yang masuk ke ruangan.
“Oh, iya! Saya segera ke sana.”
“Ayo, Rara, pamit Eyang Bidan,” kata Mama. Rara mengangguk, lalu mencium tangan Eyang Bidan.
Dalam perjalanan, Rara banyak diam. Banyak yang dipikirkannya setelah ikut Mama ke rumah Eyang Bidan.
“Rara kenapa? Kok diam saja?” tanya Mama.
“Rara kagum sama Eyang Bidan,” kata Rara.
“Oh, ya? Kenapa?”
“Eyang Bidan hebat, bisa membantu banyak orang melahirkan. Bisa kasih imunisasi buat adik bayi. Pasti capek kan, Ma? Tapi lihat deh, tadi selesai menyuntik Mama, Eyang Bidan harus langsung bantu orang melahirkan.”
“Tidak cuma itu saja tugas Eyang Bidan dan bidan lain. Setelah melahirkan, mama juga butuh perawatan. Siapa yang merawat? Tugas bidanlah merawat mama yang habis melahirkan. Kalau mama belum bisa merawat adik bayi, bidan membantu mama, mengajarinya cara merawat dan menjaga adik bayi.”
Kekaguman tak pernah lepas dari wajah Rara. Gadis sembilan tahun itu sangat kagum dengan ketangguhan Eyang Bidan dalam melaksanakan tugasnya.
Tak terasa, mereka sampai di rumah. Mama menyuruh Rara segera cuci kaki dan tidur. Mama menemani Rara bersiap tidur. Sambil merapikan selimut, Rara mengatakan sesuatu yang mengejutkan.
“Ma, kalau sudah besar, Rara mau jadi bidan kayak Eyang Bidan!”
“Kenapa?” tanya Mama.
“Rara pengen bisa bantu banyak orang kayak Eyang Bidan. Pasti senang ya, Ma, kalau orang yang kita tolong itu selamat, adik bayinya juga sehat.”
Mama tersenyum, dielusnya kepala Rara. “Apapun cita-cita Rara, yang harus dilakukan adalah belajar yang rajin. Nanti, kalau sudah besar, Rara bisa jadi apa saja, termasuk bidan.” Rara mengangguk.
“Sekarang, tidur ya? Jangan lupa berdoa,” kata Mama.
Rara memejamkan mata. Dalam hati, Rara berjanji akan belajar dengan rajin. Rara ingin cita-citanya menjadi bidan tercapai.
