Aaarrrrggghhhhh! Ini yang paling aku benci dari hujan dan lokasi tempat tinggalku. Banjir yang selalu datang setiap hujan deras turun sungguh menyiksa lahir batin. Adik-adikku, sih bebas saja bermain air yang masuk ke rumah. Aku? Selalu jadi yang berkewajiban menbersihkan semua sisa banjir.
Capek? Pasti, lah! Walau rumah kami cuma sepetak, ukuran 6 x 6 meter persegi, membersihkannya dari sisa banjir adalah hal paling melelahkan. Kasur-kasur kapuk yang basah harus aku angkat dan jemur setelah air surut. Aku paling malas melakukannya. Bayangkan, selain berat, kasur itu baunya entah sudah seperti apa. Bekas ompol si Catur, adikku yang keempat (semoga yang terakhir).
Aku sudah minta Emak pindah kontrakan, minimal jangan yang dekat bantaran kali. Selain banjir, bahaya juga buat para bocah yang sulit sekali diberitahu. Adik-adikku yang entah kenapa jarak lahirnya cuma dua tahun ini bandel sekali. Mereka suka main di pinggir kali. Triman, si nomor tiga bahkan pernah hampir hanyut terseret banjir. Untungnya Lek Joko, tetangga sebelah sigap menangkapnya. Ah, andai ayahku sebertanggung jawab Lek Joko. Kamu tahu? Ayahku meninggalkan Emak tepat sebulan setelah Catur lahir. ‘Digondol’ wewe kampung sebelah.
Lek Joko, kalau boleh dibilang, dia adalah Captain America-ku. Memangnya pernah nonton film Captain America? Nggak, cuma dengar saja dari cerita Dessy, Naura, dan Bilqis, golongan tajir bin kaya di kelasku. Ah, lupakan mereka. Aku kan mau cerita tentang Lek Joko.
Lek Joko guru honorer di sekolah dasar negeri di dekat tempat tinggal kami. Lek Joko pintar mengaji. Tiap malam, Dwi, Triman, Catur mengaji dengannya. Adik-adikku itu selalu menurut apa ucapan Lek Joko. Anak kecil mana yang tidak luluh dengan kesabarannya? Aku yang sudah empat belas tahun saja masih sering dibelikan sesuatu kalau dia ada uang. Sering dia membelikan aku buku cerita. Walau bekas, tapi aku senang sekali.
Lek Joko, sering sekali menyelamatkan aku dari Bapak. Yah, walau sudah aku anggap lenyap dari muka bumi, toh lelaki itu masih sering muncul dan menghadang aku ketika keliling berjualan aneka gorengan buatan Emak. Seperti sore kemarin, aku tetap menjajakan gorengan Emak di bawah gerimis. Kalau tidak, keesokan harinya kami tidak tahu mau makan apa? Beras habis, bumbu dapur tidak punya. Tiga bungkus mie instan pemberian Bu Aminah, tetangga sebelah juga sudah habis kami santap paginya. Untuk makan malam, kalau beruntung, ada berkatan dari Bu Cipto, selamatan pengajian seratus hari meninggalnya Pak Cipto. Miris, ya? Aku bersenang-senang di atas kesedihan Bu Cipto.
Kembali ke kisah Bapak. Kemarin sore, alhamdulillah gorengan Emak laku. Mungkin orang-orang malas masak, tapi perut mereka keroncongan karena kedinginan. Akhirnya, lima puluh gorengan Emak hampir ludes. Dan lelaki itu menghadang langkahku. Meminta uang hasil jualan gorengan yang aku dapat dengan susah payah.
“Memang sundel bolong Bapak nggak ngasih duit?” Entah keberanian dari mana hingga aku bisa berkata seperti itu.
Kekesalanku memuncak, sudah menghilang tanpa menafkahi kami, sekarang seenaknya meminta uang hasil jualanku. Bapak benar-benar kerasukan setan. Maaf, Setan. Untungnya, Lek Joko datang di saat yang tepat. Saat aku mulai lemas melawan tenaga Bapak, saat Bapak hampir saja berhasil merebut uang hasil jualan yang aku pertahankan. Lek Joko menarik tubuh Bapak, membantingnya ke tanah. Bapak terkejut, aku juga. Tapi aku bersyukur, Lek Joko menyelamatkan makan malam kami, dan bekal bertahan hidup beberapa hari ke depan.
Lek Joko menarik tanganku, bukan. Lek Joko memelukku, melindungiku dari ancaman Bapak. Nyaman, tenang, dan aku bisa menangis di dadanya. Seandainya saja, aku boleh meminta, aku akan minta Allah menukar ayahku dengan Lek Joko.
***
Entah mimpi apa kami semalam, artis itu datang ke daerah tempat tinggalku di bantaran kali yang sedang banjir itu. Penduduk girang bukan main. Dan Allah sungguh baik hati, menggiring mas artis itu masuk ke rumah kami. Melihat ke dalam, dan memberikan sejumlah uang yang aku belum pernah ~walau dalam mimpi sekalipun~ menyentuh dan melihatnya. Uang itu cukup untuk pindah kontrakan dan menutup semua utang Emak di warung tetangga. Emak menangis terharu karenanya, aku juga.
Dan entah kabar angin dari mana, lelaki yang katanya bapakku itu mendengar berita tersebut. Mungkin bau uang segepok yang dibawa angin sampai juga ke cuping hidungnya. Dengan entengnya dia meminta bagian uang pemberian mas artis. Boleh aku bilang, bagian gundulmu? Lagi-lagi, Lek Joko datang menjadi pahlawan untuk kami. Tepat saat Bapak hampir melayangkan tamparan ke pipi Emak, tangan Lek Joko mencengkeram tangan Bapak, mendorongnya hingga terjengkang.
“Jangan ikut campur kamu, Ko! Kamu bukan siapa-siapa!”
“Saya memang bukan siapa-siapa, Mas. Tapi saya manusia yang harus membantu manusia lain yang terancam bahaya! Kalo Mas Prapto masih terus mengganggu Mbak Sumi dan anak-anak, saya yang akan maju pasang badan. Saya juga nggak takut melaporkan Mas Prapto atas tindakan penganiayaan dan pengancaman,” kata Lek Joko.
Bapak menatap Lek Joko tak bergerak. Cuma dada dan perut tambunnya yang naik turun menahan emosi. Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan kami. Emak terduduk lemas di depan pintu, Catur memeluk Emak yang menangis sesenggukan.
“Mbak Sumi nggak usah takut lagi, ada saya yang akan menjaga Mbak Sumi dan anak-anak.”
Aku menatap Lek Joko penuh terima kasih. Lelaki itu bahkan mengusap air mata dan ingus yang meleleh dari hidungku, dengan kaos bututnya. Ah, baru kali ini aku merasakan kasih sayang seorang lelaki seperti ayah sendiri.
“Lek Joko, jadi ayah Eka, ya? Mau, ya? Bawa kami pergi dari sini, Lek! Eka takut sama Bapak,” rengekku. Persis Catur dan Triman yang merengek minta jajan cilok.
Lek Joko terkejut mendengar kata-kataku. Demikian juga Emak. Emak menarik-narik tanganku, menegur. Lucu melihat Emak salah tingkah di sisa tangisnya.
“Kalo Mbak Sumi mau dan berkenan, saya siap jadi ayah dari anak-anak Mbak Sumi.”
Emak terkejut untuk yang kedua kali. Aku? Ah, aku bahagia sekali. Ini lamaran super romantis yang pernah aku lihat. Kalah deh, lamaran para selebgram yang sering diceritakan Bilqis.
“Catur mau jadi anak Lek Joko, enak nanti dibelikan cilok terus,” celetuk Catur.
Dwi dan Triman, adikku ikut mengangguk. Tunggu apa lagi, Mak? Terima, Mak, terima, sorakku dalam hati.
“Urusan sama Mas Prapto biar saya yang selesaikan. Mbak Sumi tenang saja,” sambung Lek Joko.
Dari wajahnya, aku tahu Emak mau. Aku tahu Emak lelah berjuang sendiri. Emak juga butuh sandaran, butuh pelindung dari lelaki yang tak bisa dibantah ia adalah bapakku. Akhirnya, anggukan pelan itu terjadi juga. Emak menerima lamaran Lek Joko. Lek Joko, pahlawanku. Lek Joko, bakal jadi bapakku.